Skip to main content

Gemercik Air Sungai Tembesi

Balumbo biduk; Tradisi Turun-temurun Kabupaten Sarolangun


Simbua, simbua, simbua!
Demikian teriak para penonton di sisi tebing Sungai Tembesi. Ungkapan tersebut bertujuan memberi semangat kepada pemegang kemudi perahu pacu, agar ia mengeruk pendayungnya lebih dalam lagi ke dalam air, sehingga perahu bisa melaju lebih cepat.

Pacu Perahu, tradisi tahunan masyarakat Kabupaten Sarolangun-Jambi. Tradisi yang lebih dikenal dengan sebutan Balumbo Biduk ini begitu penting bagi masyarakat Sarolangun. Tanpa tradisi ini, maka lebaran di Sarolangun tidak akan pernah berakhir.

Sekilas, tak ada yang spesial dari tradisi balumbo biduk, hanya sekedar pacu perahu biasa, sama seperti perlombaan dragon boat, dayung dan pacu perahu di tempat-tempat lain. Hanya saja, perlombaan ini diadakan antar kampung yang ada di Kabupaten Sarolangun Namun, bagi masyarakat Sarolangun ivent ini begitu spesial.
Scedule Pertandingan

Mempertaruhkan Gengsi
Kegiatan ini hanya diadakan setahun sekali, biasanya pada hari keenam dan ketujuh lebaran, yang merupakan puncak kemeriahan hari raya Idul Fitri. Tradisi ini juga menjadi ajang pertahuan gengsi kampong bagi masyarakat Sarolangun, maka tidak heran pada hari tersebut hampir seluruh masyarakat Sarolangun keluar rumah untuk menyaksikan ivent ini. 
Hampir setiap kampung yang ada di Sarolangun memiliki satu hingga dua biduk yang siap untuk diperlombakan. Biasanya biduk telah dipersiapkan oleh warga kampung sebulan bulan Ramadhan. Hingga hari “H”, pada biduk telah dilakukan berbagai treatment. Seperti dicat sesuai identitas kampung. Kemudian dilayua, yaitu biduk dipanaskan di dekat unggunan api agar mendapat bentuk yang ideal serta kering dan menjadi ringan, sehingga biduk diharapkan bisa melaju kencang saat berlomba. Bahkan ada sebagian biduk yang diberi jampi-jampi sebelum bertanding. Karena kemenangan pada perlombaan ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi warga kampung yang menjadi juara.
 
Menyimpan Sejarah
Balumbo biduk ini tentunya tidak terlepas dari budaya masyarakat Sarolangun sendiri. Sungai merupakan salah satu elemen penting bagi masyarakat Sarolangun.  Sejak dulu, Masyarakat Sarolangun sudah akrap dengan sungai. Hampir seluruh mobilitas masyarakat Sarolangun dilakukan di Sungai, khususnya di bidang perdagangan dan perikanan.

Bahkan hal tersebut masih berlangsung hingga tahun 90-an. Jika saja pada tahun 90-an anda berkunjung ke perkampung-perkampungan yang ada di pinggiran sungai di Sarolangun, maka anda kan menemukan biduk-biduk kecil bersusun di sepanjang pinggiran sungai, karena hampir setiap kepala keluarga memiliki satu biduk.

Namun sekarang, karena gencarnya ekspansi modernisasi, penggunaan biduk terasa begitu lambat, sehingga saat ini minim digunakan.
Anak Biduk Bersama Tim Menejer

Semagat Gotongroyong
Selain menyimpan sejarah rakyat, balumbo biduk juga menyimpan semagat gotong royong. Kemeriahan balumbo biduk tidak hanya terjadi pada hari pelaksanaannya, namun jauh sebelum itu kemeriahan lebih dulu terjadi di kampung-kampung.

Seperti yang saya jelaskan tadi, sebulan sebelum Ramadhan, warga kampung telah mempersiapkan biduk yang akan mewakili kampungnya. Saat itulah perahu yang akan diperlumbakan diperbaiki bersama-sama, biasanya dilaksanakanan di renah (dataran di pinggiran sungai). Disanalah warga kampung bergotong royong, mulai dari memperbaiki bentuk, performance, mencat, hingga menggangkat biduk yang panjangnya mencapai 10 meter, tentunya sangat berat. Semua warga kampung ikut bergotonh royong, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Biasanya, pada kesempatan tersebut, ada moment makan bersama, yang menambah keakraban sesame warga kampung. Suasana ceria dan candaan hadir disana.
Belum jadi: Salah satu perahu yang belum jadi, masih dalam proses pengerjaan dan masih berada di dalam hutan.
Bahkan jika dibutuhkan perahu baru, masyarakat bersama-sama pergi ke hutan untuk menebang kayu ke hutan. Kayu yang dipilih bukan kayu sembarangan. Kayu dengan diameter besar dan panjangnya puluhan meter. Jenisnya pun, dari jenis kayu tertentu, yang diyakini bisa membuat perahu menjadi kencang. Jenis kayu yang banyak dipakai biasanya kayu jenis Merantih yang sudah tua, karena dianggap jenis yang ideal untuk sebuah perahu pacu (biduk balumbo). Masyarakat juga menyakini ada beberapa jenis kayu yang tidak cocok dijadikan biduk balumbo, karena akan membuat biduk menjadi dedal atau sulit untuk dikendalikan.
Buduk lagi parkir

Nama Biduk yang Unik
Selain itu, biduk-biduk ini diberi nama-nama yang mengandung nilai filosofis bagi kampung asalnya, seperti Belati Jaya, Injin Tsunami, PHS, Buaya Merang, Burung Dendang abadi, Gunung Kembang,  dan sebagainya.

Hari “H”
Tibalah waktu yang ditunggu-tunggu. Seluruh rakyat Sarolangun berjejer di sepanjang tebing sungai Tembesi. Sungai yang membelah Kabupaten Sarolangun. Anak biduk (pendayung) dan biduk-nya sudah siap tanding. Satu perahu diisi oleh 20 orang anak biduk, lengkap dengan pakain khas anak biduk, yaitu kain batik atau kadang kain gebeng yang melingkar di pinggang.

Jembatan Beatrix yang bersejarah menjadi garis start. Pertandingan menggunakan sistem knock-out, yang kalah harus rela pulang kampung. Sebaliknya, yang menang mendapatkan kebanggaan tersendiri. Kebanggaan atas kemenangan tersebut tidak hanya milik anak biduk, tapi milik seluruh warga kampung.
Jembatan beatrix menjadi garis start balumbo biduk

Tercemar Bisnis dan Politik
Dulu, balumbo biduk benar-benar hiburan rakyat. Tak hanya sekedar perayaan Idul Fitri, Balumbo biduk memang bagian dari sejarah hidup masyarakat Sarolangun. Tradisi menggunakan biduk telah mengakar pada masyarakat Sarolangun sejak puluhan hingga raatusan tahun yang lalu. Bagaimana tidak, kehidupan Masyarakat Sarolangun memang bermula di pinggiran Sungai Tembesi.

Sayangnya, sejak sepuluh tahun belakangan ini, perayaan balumbo biduk disusupi sponsor. Lihat saja, kostum yang digunakan tak lagi menggunakan batik,  sarung ataupun kain gebeng, bukan  lagi membawa identitas kampung masing-masing, melainkan membawa identitas bisnis dan politik. Bahkan lebih parah lagi, ada beberapa perahu yang menggunakan nama salah satu product bisnis dan partai politik.

Terlebih pada musim kampaye, baik pemilu legislatif maupun pilkada, nyaris tidak ada biduk yang membawa nama kampungnya secara utuh. Yang terjadi adalah pertandingan pacu perahu milik calon. Miris.

Comments

Popular posts from this blog

Kampanye LBH Pers Padang tentang Undang-undang Pers

Apa kabar sobat waktu? Lama tak bersua. Kali ini saya ingin share my job , beberapa waktu yang lalu saya dapat job dari LBH Pers Padang untuk membuat poster tentang Undang-undang Pers, yang berlandasan pada tiga tema, yaitu: ( 1). Wartawan dilindungi undang-undang, (2). Stop kriminalisasi pada wartawan, (3). Kemerdekaan pers adalah harga mati. Dan berikut hasilnya.

Film Pendek "Dermawan"

Film yang berjudul Dermawan ini diproduksi di Sungai Petani, Kedah, Malaysia, oleh Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang yang sedang melakukan studi tour ke Fakultas Multimedia Kolej Insaniah Universiti, Kedah Malaysia. Film yang disutradarai oleh Rafi'i Hidayatullah Nazari ini bercerita tentang seorang mahasiswa yang dengan ikhlas mendermakan hartanya kepada seorang pengemis. Berkat keiklasannya tersebut, ia mendapat balasan yang lebih dari apa yang telah diberikannya. Film yang hanya berdurasi tiga menit ini, diperankan oleh Sobhan, Peri Muslihadi, Ade Syaputra, Asri Pramuja, Teguh Surdimantoso, Silfi Fitriani, Hari Candrawati, dan Sri Wahyuni.